...

Terbatas Gerak, Tak Terbatas Niat: Cerita Inspiratif Umroh Mandiri Seorang Difabel Indonesia

Namanya Ahmad Zulfikar, 42 tahun, seorang pegawai negeri di Bandung yang sejak lahir mengalami kelumpuhan kaki. Ia menggunakan kursi roda sejak kecil, tapi tak pernah menjadikan hal itu alasan untuk menyerah pada impian spiritualnya: menunaikan umroh ke Tanah Suci.

“Selama ini saya selalu berpikir, umroh itu hanya untuk orang yang kuat secara fisik. Tapi ternyata, kekuatan sejati itu ada di niat,” katanya sambil tersenyum pelan.

Ahmad sudah berkali-kali menabung, menunda keinginan pribadi, bahkan menjual motor kesayangannya. Namun yang paling menantang bukan soal biaya, melainkan rasa takut: bagaimana jika di Tanah Suci nanti ia menyusahkan orang lain? bagaimana jika akses di sana tidak ramah difabel?

Semua ketakutan itu mulai terjawab ketika ia menemukan informasi tentang umroh mandiri di sebuah forum daring. Dari situ ia tahu, lewat UU Nomor 14 Tahun 2025, pemerintah resmi memperbolehkan jamaah untuk melakukan perjalanan umroh secara mandiri — asal memenuhi syarat visa, logistik, dan bimbingan ibadah yang sah.

Ahmad lalu mencari penyedia jual visa umroh mandiri yang legal dan terbuka untuk jamaah difabel. Ia menemukan satu penyedia yang bersedia membantu dari sisi dokumen hingga transportasi khusus di Arab Saudi. “Saya lega, karena mereka memastikan semua sesuai prosedur dan diawasi langsung oleh Kementerian Agama,” ujarnya.

Dengan semangat dan izin keluarga, Ahmad akhirnya berangkat seorang diri ke Jeddah. Di bandara, petugas maskapai memperlakukannya dengan sangat baik. Mereka membantu proses imigrasi hingga memastikan kursi rodanya bisa dibawa langsung ke kabin pesawat. “Saya benar-benar terharu. Dari awal, semua dimudahkan,” katanya.

Sesampainya di Makkah, ia menginap di hotel sekitar 1 km dari Masjidil Haram. Setiap kali azan berkumandang, Ahmad memanggil layanan shuttle yang disediakan hotel. Petugas lokal pun dengan ramah membantunya turun dari mobil dan mendorong kursi roda sampai ke area tawaf.

“Bayangkan, di tengah ribuan orang itu, saya justru merasa paling dekat dengan Allah سبحانه وتعالى. Karena setiap putaran tawaf, saya lakukan dengan penuh kesadaran bahwa Dia sedang melihat perjuangan saya,” ungkapnya dengan mata berkaca-kaca.

Ahmad juga sempat bertemu dengan jamaah lain asal Indonesia yang terkejut melihatnya datang sendirian. “Masya Allah, Bapak luar biasa. Umroh mandiri pula!” kata seorang jamaah dari Surabaya yang lalu membantunya thawaf di putaran ketiga. Tapi Ahmad justru menjawab dengan rendah hati, “Saya hanya menjalankan niat yang sudah lama tertunda.”

Bagi Ahmad, pengalaman umroh mandiri bukan tentang membuktikan diri, melainkan tentang menyerahkan diri. Ia ingin menunjukkan bahwa setiap hambatan bisa dilalui bila niatnya lurus dan jalannya halal. “Allah سبحانه وتعالى tidak menilai langkah kakimu, tapi langkah hatimu,” tulisnya di sebuah unggahan media sosial yang kemudian viral di kalangan jamaah Indonesia.

Ia juga menulis pengalaman detailnya tentang fasilitas difabel di Masjidil Haram dan Nabawi: jalur khusus kursi roda, lift besar di area mataf, serta petugas yang siap membantu kapan pun. “Saya merasa dihormati, bukan dikasihani,” katanya.

Setelah berpindah ke Madinah, Ahmad berdoa lama di Raudhah. Dengan suara lirih, ia memanjatkan doa: “Ya Allah, Engkau yang memampukan, bukan kaki ini.” Ia pun menangis tersedu. Di sekitarnya, beberapa jamaah lain ikut menitikkan air mata, menyadari bahwa keteguhan hati jauh lebih kuat dari kekuatan fisik.

Perjalanannya menjadi bahan renungan bagi banyak orang. Banyak yang menyebut Ahmad sebagai inspirasi — tapi ia menolak gelar itu. “Saya hanya satu dari jutaan jamaah yang ingin dicintai Allah سبحانه وتعالى. Bedanya, saya harus duduk untuk bisa melangkah.”

Sepulang ke tanah air, Ahmad menjadi pembicara di beberapa komunitas difabel. Ia mendorong teman-temannya untuk tidak takut bermimpi ke Tanah Suci. “Sekarang banyak penyedia visa umroh mandiri yang bisa bantu jamaah difabel. Kuncinya satu: jangan tunggu sempurna untuk berangkat, karena ibadah itu justru menyempurnakan hidup kita,” katanya penuh semangat.

Kini, di ruang tamunya yang sederhana, foto dirinya saat thawaf masih tergantung rapi di dinding. Ia menatap foto itu setiap kali merasa lemah. “Bukan saya yang datang ke Baitullah, tapi Allah سبحانه وتعالى yang memanggil saya,” ujarnya pelan.

Kisah Ahmad menjadi bukti nyata bahwa umroh mandiri bukan hanya tentang kebebasan mengatur perjalanan, tapi juga tentang kebebasan jiwa — kebebasan untuk percaya bahwa kasih sayang Allah سبحانه وتعالى tidak mengenal batas fisik.

Scroll to Top
Order Online/Support? via Whatsapp